KURSI KEBESARAN SANG PEMIMPIN SEJATI
Oleh : (Al’Habib Faridhal Attros Al’Kindhy)
Seorang Pemimpin Sejati mampu melintasi horizon esoterisme yang sangat luas dan meniupkan ruh baru ke dalam eksistensi material. Seorang pemimpin mampu menciptakan sebuah karya kreasi yang baru dalam pengertian ciptaan yang paling luas, karena perbuatan kreatifnya merupakan sesuatu yang hanya dapat dihasilkan oleh perasaan terdalam yang memungkinkan sang pemimpin masuk ke alam ruh, dan akan lebih sempurna jika seorang pemimpin mempunyai tingkat kesucian yang lebih tinggi pula. Pemimpin ibarat puncak tertinggi dalam tradisi tasawuf, namun seperti halnya setiap puncak selalu berhubungan dengan rangkaian pegunungan lain. Pemimpin pun dihubungkan dengan tradisi semacam itu, yakni ; karena ajaran - ajaran suci serta barakah yang terdapat di dalam kekayaan spiritualnya-lah ia mampu menjadi seorang Pemimpin Sejati dalam dimensi setinggi ini. Dia muncul pada saat spiritualitas Islam telah membentuk kesempurnaan tradisi yang subur selama beberapa abad. Dan dia hidup dalam masa ketika intensitas spiritual muncul kembali sebagaimana pada masa kelahiran Islam ; Suatu masa yang melahirkan para wali dan sufi terkemuka di seluruh dunia Islam. Seorang Pemimpin Sejati datang pada akhir periode kesuburan aktivitas dan peremajaan kembali spiritual, sehingga membentuk sejarah spiritual masyarakat Islam berikutnya. Pada saat sang pemimpin muncul ke panggung sejarah tradisi Islam, dengan tasawuf sebagai hati atau sumsumnya, yang telah mengkristal dalam bentuk klasiknya secara tegas, perlu ditandaskan di sini ; seorang pemimpin itu sebaiknya merujuk ke tradisi Islam dan bukan ke tradisi sufi, karena yang pertama merupakan sebuah tradisi yang integral dan yang kedua merupakan bagian dari yang pertama dan tidak dapat dipisahkan darinya. Oleh sebab itu, dalam penggunaan istilah tradisi sufi, tetap ada beberapa batasan pengertian untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa ; tasawuf dapat dipraktikan sendiri tanpa merujuk ke tradisi Islam, mengingat bahwa tradisi sufi merupakan bagian darinya.
Berbagai ilmu pengetahuan Islam mulai dari tafsir Al-Qur’an sampai filsafat dan teologi telah dihasilkan oleh Al-Ghazali sedangkan skema-skema kosmologi Islam utama yang sering menjadi rajukan sang pemimpin telah terumuskan pula. Tasawuf itu sendiri telah meninggalkan awalnya dari kesunyian nisbi dan kezuhudannya yang heroik menuju tahap pengungkapan cinta dan makrifat yang sangat mengesankan lingkaran rasa takut, cinta dan makrifat (makhafah, mahabbah, dan ma’rifah) yang terdapat dalam setiap agama dan dalam tradisi Ibrahimiah melalui kelahiran Yudaisme, kristen dan Islam secara berturut-turut, yang juga telah terwujud dalam tradisi sufi. Kaum bijak mesopotamia pada periode awal menekankan rasa takut dan hormat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di atas segalanya, yang menjadi sumber kebijaksanaan yang sesuai dengan sabda terkenal Nabi ; " Bahwa Ras Al- Hikmah makhafat Allah " ( sumber hikmah adalah rasa takut kepada Allah) dan juga merupakan sumber yang ke-Agungan dan Kemuliaan dalam diri manusia. Dalam keluarga Ibrahim, aspek yang dominan dari Yahudi (Yudaisme) adalah ; rasa takut kepada Tuhan. Dari Kristen adalah ; rasa cinta kepada Tuhan. Dan dari Islam ialah ; pengetahuan akan Allah (makrifatullah), meskipun dalam setiap tradisi yang integral ketiga aspek itu pasti ada. Sang pemimpim sejati, memainkan peran yang telah ditaqdirkan Tuhan dengan kemampuan menginterpretasikan ide-ide dan ajaran-ajaran para tokoh pemimpin terdahulu ke dalam sintesisnya sendiri, sehingga mudah di akses oleh generasi sesudahnya.
Untuk agar seseorang menjadi Pemimpin Sejati, dia harus menjalani masa latihan yang panjang, baik secara formal maupun inisiatik, dan harus memahami benar seluruh tradisi sebelumya, baik dalam tasawuf maupun dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam lainnya. Dia harus benar-benar mendalami pengetahuan tentang Al-Qur’an dan berbagai tafsirnya yang ada saat ini, karena dari penyelidikan yang mendalam atas karya dan tindak kreatif seorang Pemimpin Sejati akan mengungkapkan (terungkap) kebenaran pernyataannya dalam matsnawi sebagai tafsir Al-Qur’an, bahkan dalam diwan nya mengalir seperti arus sungai yang bermuara dari sumber air pegunungan rahasia Al-Qur’an, karena sang pemimpin sejati harus memperlihatkan kehandalannya dan kecakapannya dalam memimpin, dengan mengungkapkan sesuatu yang benar, sekaligus berani memunculkannya kepermukaan dengan penuh rasa tanggung jawab yang tinggi. Kebersihan dan kesucian hati yang suci murni serta harus memiliki rasa pri kemanusiaan yang dapat bertindak adil, arif dan bijaksana untuk sebagai sumber doktrin dan inspirasinya, dalam mensejahterakan dan memakmurkan Bangsa dan Negaranya. Dan bukannya memakmurkan kursi kebesaran yang didudukinya. Demi kursi kebesaran," manusia-manusia dewasa tak ubahnya bagaikan sekumpulan bocah-bocah yang sedang memperebutkan sebuah mainan", dan demi kursi kebesaran manusia telah dibutakan oleh angan - angannya dan seandainya saja manusia menyadari, bahwa ; " angan-angan manusia itu kerapkali melampaui ajalnya" dan demi kursi kebesaran, menusia tak segan - segan menghalalkan berbagai cara dari cara yang paling ringan (halus) sampai cara yang paling berat (kasar) yang pada akhirnya banyak memunculkan skenariowan - skenariowan kambuhan yang memanfaatkan situasi dan kondisi yang tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.
Bahaya kesombongan yang disebabkan oleh pembenaran di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama adalah merupakan awal kehancuran kharisma seorang pemimpin. Hal ini menunjukkan kenyataan bahwa akar jiwa tenggelam dalam dunia keserbaragaman mahkluk dan bahwa manusia selalu dibuyarkan dan dialihkan oleh berbagai benda untuk mampu memusatkan pikiran dan jiwanya kepada Sang Pencipta. Yang melengkapi kepekaan sang Pemimpin sejati terhadap kejujuran adalah ; kesadarannya akan kesucian dalam segala sesuatu dan kecakapannya memberi petunjuk sebagai solusi spiritual terhadap hampir setiap permasalahan yang dihadapi bawahannya dalam berbagai masa dan keadaan. Seperti halnya Rasulullah SAW yang telah diberi kemungkinan-kemungkinan oleh Allah SWT untuk mengalami segala sesuatu yang dapat dialami oleh seorang manusia, mulai dari kehilangan anak satu-satunya sampai mempersatukan Jazirah Arab dibawah panji Islam. Beliau (Rasulullah SAW) diberi misi tersebut supaya dapat menyucikan seluruh kehidupan manusia. Beliau (Rasulullah SAW) mampu mengekspresikan kesempurnaan dan keragaman eksistensi manusia sebagai cara untuk mengungkapkan fakta, bahwa dibalik setiap pengalaman mungkin saja terdapat sebuah gapura menuju yang Maha Gaib. Di dunia modern, kemiskinan dan kesesakan nafas spiritualitas tampak jelas, ketika keburukan telah menjadi norma dan keindahan menjadi suatu kemewahan. Sang Pemimpin sejati ditemukan banyak orang sebagai seorang penangkal penyakit yang berasal dari penderitaan dunia modern. Dia memang seorang penangkal yang sangat mujarab yang menyediakan prinsip-prinsipnya untuk diikuti, betapa pun pahitnya obat yang dia tawarkan.
Seseorang harus memandang Pemimpin sejati bukan sekadar sebagai seorang penguasa semata, namun sebagai porte - parole (penguak) rahasia - rahasia Ilahi, yang seperti burung yang hanya dapat bernyanyi dalam melodi-melodi yang menggerakkan jiwa. Kehadiran spiritual sang Pemimpin sejati berdiri tegak laksana rambu untuk menunjukkan kepada manusia melalui lisannya bahwa, hanya kebenaran itulah yang akan dapat membebaskan mereka dari penjara kerugian dan keburukan yang menyesatkan, yang telah mereka ciptakan disekitar diri mereka sendiri, dan yang batas-batasnya tidak dapat dirobohkan kecuali melalui pesan manusia seperti sang Pemimpin sejati. Karena ia dalam memandang kebenaran dan ekspresinya selalu dalam bentuk kemanusiaan yang adil dan beradab dan bukan hanya sebatas bentuk kemasannya saja, akan tetapi isi dalam kemasan itupun harus sama dengan luar (bungkusnya) serta terlepas dari trick - trick murahan. Ini semua dapat terjadi dalam dunia manusia yang memiliki kecenderungan untuk selalu membuat janji-janji muluk demi obsesi dan ambisinya yang tak kenal batasan itu. Maka pemimpin sejati itu adalah orang yang telah merasakan "amor est mors " melalui cintanya kepada Allah. Dan ia pun telah mendalami kematian walaupun secara fisik masih hidup dan di bangkit dalam selubung cahaya pengetahuan Tuhan selagi masih bercakap-cakap dan berjalan di antara manusia. Sang pemimpin sejati melihat kematian sebagai kebahagiaan hidup yang luar biasa karena dia telah mengalami kematian sebelum mati yang sesungguhnya sesuai dengan sabda Nabi yang terkenal ; " Matilah sebelum engkau mati". Baginya (pemimpin sejati) eksistensi kematian benar-benar merupakan bukti langsung akan adanya Tuhan. Bukti teologis juga mencakup bukti estetis. Menurut pengertian yang terluas dari istilah itu. Menurut aspek ini mungkin tidak sekuat aspek-aspek kosmologis dan moral. Karena untuk menjadi peka terhadap trasparansi metafisik dari kematian terhadap pemancaran aura fisik yang hidup dan tetap hidup dalam menuju dunia cahaya dengan suatu ketajaman dan pendengaran intusi yang memungkinkan pendakian melalui kebenaran fenomenal yang naik ke esensi - esensi dan melodi-melodi keabadian.
HIKMAH LISAN ( UCAPAN ) SANG PEMIMPIN SEJATI
Bagaimanapun juga ada mutiara hikmah yang sangat penting yang tersembunyi di dalam ucapan dan kata-kata yang keluar dari lisan (ucapan) seorang pemimpin sejati. Mutiara hikmah tersebut mencerminkan bukan hanya esoterisme semata, akan tetapi kekuatan sugesti dan penyadaran tentang pengetahuan intuitif yang ada di dalam jiwanya. Sebuah kesadaran yang dapat disamakan dengan transformasi jiwa bukankah ucapan dan kata-kata yang logis itu mempunyai kekuatan denotasi dan konotasi ..?!. Kata - kata yang terucap melalui lisan seorang pemimpin sejati akan selalu menyiratkan keselarasan universal melalui substansi bahasa yang ia miliki, sama seperti ketika keselarasan ini mendominasi pikiran dan jiwa sang pemimpin sejati itu sendiri. Maka kata-kata (ucapan) serupa dengan logika dalam arti sebagai sarana dan wahana untuk mengekspresikan suatu kebenaran. Kata - kata (ucapan) melengkapi logika untuk mencapai bentuk pengetahuan yang tidak dapat dipahami tanpa bantuan kecakapan logis manusia yang jujur dan pasrah. Selain itu kata - kata (ucapan) keluar dari lisan seorang pemimpin sejati akan menghasilkan transformasi jiwa serta perasaan-perasaannya dalam suatu cara yang tidak mungkin dihasilkan oleh usaha logis semata, karena ucapan yang jujur dan jauh daripada kebohongan itu akan menghasilkan dan melahirkan kesepakatan dalam jiwa manusia untuk membentuk manusia-manusia yang menjujung tinggi kejujuran, sehingga wajar untuk membicarakan adanya suatu logika lisan yang meyakinkan dan seringkali mendukung sebuah argumen diberbagai bagian dunia ketika ucapan seorang pemimpin sejati mampu memelihara kualitas kimiawinya, bahkan sampai sekarang pun, dan ketika jiwa orang - orang yang masih peka terhadap kekuatan lisan sang pemimpin sejati, yakni ; dengan caranya mengungkapkan kebenaran serta kemampuannya dalam hal memberi keputusan yang adil, arif dan bijaksana yang dilandasi cinta kasih dan kebajikan yang luhur. Pada akhirnya satu-satunya hal mendasar yang dimiliki logika dan juga lisan sebagaimana paham tradisional adalah gnosis (ma’rifah) yang terletak pada inti tradisi timur. Karena realitas merupakan sumber dari hal yang logis dan sekaligus hal yang puitis, maka gnosis atau metafisika tradisional yang mengandung pengetahuan tentang realitas, tidak boleh tidak harus menjadi dasar bersama yang memungkinkan logika dan lisan sang pemimpin sejati bertemu dan menjadi sarana bagi kebenaran untuk mengungkapkan dirinya dalam epifani - epifani yang logis seperti alam yang murni. Dalam melintasi tingkatan inisiatik yang paling tinggi, yang memungkinkan dirinya lebur dan muncul dalam subsistensi diri. Sehingga sang pemimpin sejati mampu menyadari siapa dirinya dan akhirnya akan mengenal dirinya, karena bukankah Nabi Muhammad SAW telah bersabda :
" Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhan-NYA".
Luasnya " samudera semangat " dan perjalanan anak cucu Adam dalam mengemban tugas amanah Tuhan semesta alam, adalah merupakan penyajian akan adanya suatu kebenaran yang obyektif dengan prosentasi subyektif serta aspek-aspek operatif yang menyangkut proses pencapaian kebenaran tersebut, yakni ; suatu kebenaran yang menggabungkan penguasaan metafisika murni ke dalam struktur jiwa manusia yang kompleks, perangkap yang menghadang manusia yang tersadarkan melalui inisiasi menuju kemungkinan spiritual dirinya dan memulai perjalanan menuju ke Yang Esa. Ekspresi universal kehidupan dan jalan inisiatik dimungkinkan oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) seseorang yang digabungkan dengan pengetahuannya yang mendalam tentang semua tradisi Islam, terutama aspek - aspek religius dan metafisiknya. Masyarakat dewasa ini mungkin lebih mampu untuk mendapatkan manfaat dari apa-apa yang mereka lisan-kan (ucapkan) baik secara perorangan atau secara kelompok daripada mereka yang hidup pada masa sebelumnya. Masa-masa sebelumnya ketika lisan-lisan manusia mengemukakan sesuatu yang benar (haqq) selalu disalahartikan, bahkan ada kecenderungan pengabaian aspirasi masyarakat, dan agak terkesan tidak dipedulikan. Seseorang yang mengatakan sesuatu yang benar dengan hati yang jujur. Pada masa itu, malah di anggap yang bukan-bukan sekaligus dicurigai dengan berbagai macam tuduhan - tuduhan yang terkesan ekstrim. Dan akhir dari hasil suatu ucapan tentang kebenaran itu adalah "bermeditasi dalam kurungan" Inilah ucapan tentang kebenaran yang berakhir dengan sangat tragis sekali. Orang-orang bijak masa lampau telah menyimpulkan tiga kriteria yang menjadi penyebab hancurnya suatu negeri dibelahan dunia manapun juga, yakni ;
- Jika sang penguasa negeri menganggap bahwa negeri yang dikuasainya itu adalah milik nenek moyangnya sendiri. Sehingga ia merasa berhak untuk melakukan apapun di negeri itu dengan tanpa merasa takut dan merasa malu. "Ia tidak sadar, bahwa bumi dimana ia berkuasa bukanlah miliknya atau milik nenek moyangnya, akan tetapi, milik Tuhan semesta Alam yang dititipkan kepada manusia untuk dijaga kelestariannya. Bumi diibaratkan sawah ladang tempat manusia bercocok tanam diatasnya, dan manusia akan memetik dari apa-apa yang ia tanam di bumi itu. Ingatlah akan suatu hal …!" :
" Bahwa manusia itu tidak akan pernah terlepas dari hukum sebab dan akibat, karena pada saatnya, kelak bumi akan menuntut haknya ".
- Jika hukum suatu negeri dikendalikan oleh sang penguasa negeri yang lalim, maka kebajikan akan lenyap di negeri itu
"Jika suatu kebajikan lenyap .. !" maka orang akan menonjolkan cinta kasih ".
"Jika cinta kasih lenyap …!" maka orang akan menonjolkan keadilan ".
"Jika keadilan lenyap ….! "maka orang akan menyusun peraturan dan undang-undang, maka hal-hal ini menjadi suatu tanda, bahwa kesetiaan dan kejujuran dari rakyat jelata sudah menipis, sehingga kekalutan mulai merajalela, karena moral semakin merosot ".
- Jika hak-hak azasi manusia diselewengkan dan disembunyikan serta diabaikan, maka keluhan dan jeritan tangis akan mewarnai negeri itu sehingga negeri akan menjadi kacau tak terkendali.
" Lihatlah kepada orang yang dibawah kamu, jangan selalu melihat kepada orang yang di atas kamu, yang demikian itu adalah lebih baik dan layak untuk tidak merendahkan nikmat Allah pada kamu ". (Al-Hadits).
Maka sang pemimpin sejati akan membuat peningkatan yang membuatnya menjadi mungkin untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam kesubstansi Ilahi. Ia akan senantiasa berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan nasib rakyat jelata, agar jangan sampai mereka menderita kesukaran dalam hal pangan, tempat tinggal dan dalam mencari nafkah. Ia pun tidak akan mempersulit rakyatnya dengan berbagai macam peraturan, atau undang-undang yang membatasi usaha serta pekerjaan mereka, agar supaya mereka senantiasa dapat tinggal dengan tenteram dan bekerja dengan senang dan leluasa, sehingga seluruh negeri akan berubah dengan sendirinya menjadi aman sejahtera. Oleh karenanya sang pemimpin sejati itu selalu memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Kebijaksanaan semacam inilah yang tidak dapat dicari di puncak-puncak gunung atau di dasar laut yang dalam atau di tengah-tengah hutan belantara, atau di negara - negara lain, akan tetapi, kebijaksanaan ini haruslah dicari di dalam dirinya sendiri, melalui penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin sepenuhnya, maka amal perbuatan yang dilakukan olehnya akan menjadi amal suci dan mensucikan.
" Langit dalam revolusi ibarat pengemis yang mengusik kesadaran kita"
Kehadiran seseorang pemimpin sejati di tengah-tengah kegersangan dan kehausan jiwa adalah merupakan karunia Tuhan dan tanda-tanda dari Maha Kasih-NYA yang tetap dapat diperoleh manusia kapanpun dan dimanapun asal mereka mau membuka dirinya sendiri untuk menghidupkan kembali cahaya semangatnya dan menyesuaikan diri dengan alam serta hukum - hukum Tuhan yang kekal abadi. Seseorang hanya perlu mempelajari dunia Islam dalam berbagai fase sejarahnya atau pada masa kini untuk menyadari kehadiran Sang pemimpin sejati dalam berbagai aspek tradisi yang sangat fundamental itu. Ia adalah keajaiban di atas keajaiban, dan merupakan sosok manusia sejati yang selalu mengikuti dimana arus air mengalir. Maka sesungguhnya kursi kebesaran bagi sang pemimpin sejati itu, terletak di dalam lubuk hatinya yang telah terpahat oleh kejujuran dan keikhlasan yang tanpa pamrih itu. Jika saja dari keikhlasan sang pemimpin sejati itu menyentuh jiwa para pertapa dunia, maka jiwa mereka akan meninggalkan tubuh diluar kehendaknya.
" Bukankah suatu perbuatan itu dapat dikatakan baik dan benar, jika tidak ada pamrih didalamnya..?"
Oleh : (Al’Habib Faridhal Attros Al’Kindhy)
Seorang Pemimpin Sejati mampu melintasi horizon esoterisme yang sangat luas dan meniupkan ruh baru ke dalam eksistensi material. Seorang pemimpin mampu menciptakan sebuah karya kreasi yang baru dalam pengertian ciptaan yang paling luas, karena perbuatan kreatifnya merupakan sesuatu yang hanya dapat dihasilkan oleh perasaan terdalam yang memungkinkan sang pemimpin masuk ke alam ruh, dan akan lebih sempurna jika seorang pemimpin mempunyai tingkat kesucian yang lebih tinggi pula. Pemimpin ibarat puncak tertinggi dalam tradisi tasawuf, namun seperti halnya setiap puncak selalu berhubungan dengan rangkaian pegunungan lain. Pemimpin pun dihubungkan dengan tradisi semacam itu, yakni ; karena ajaran - ajaran suci serta barakah yang terdapat di dalam kekayaan spiritualnya-lah ia mampu menjadi seorang Pemimpin Sejati dalam dimensi setinggi ini. Dia muncul pada saat spiritualitas Islam telah membentuk kesempurnaan tradisi yang subur selama beberapa abad. Dan dia hidup dalam masa ketika intensitas spiritual muncul kembali sebagaimana pada masa kelahiran Islam ; Suatu masa yang melahirkan para wali dan sufi terkemuka di seluruh dunia Islam. Seorang Pemimpin Sejati datang pada akhir periode kesuburan aktivitas dan peremajaan kembali spiritual, sehingga membentuk sejarah spiritual masyarakat Islam berikutnya. Pada saat sang pemimpin muncul ke panggung sejarah tradisi Islam, dengan tasawuf sebagai hati atau sumsumnya, yang telah mengkristal dalam bentuk klasiknya secara tegas, perlu ditandaskan di sini ; seorang pemimpin itu sebaiknya merujuk ke tradisi Islam dan bukan ke tradisi sufi, karena yang pertama merupakan sebuah tradisi yang integral dan yang kedua merupakan bagian dari yang pertama dan tidak dapat dipisahkan darinya. Oleh sebab itu, dalam penggunaan istilah tradisi sufi, tetap ada beberapa batasan pengertian untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa ; tasawuf dapat dipraktikan sendiri tanpa merujuk ke tradisi Islam, mengingat bahwa tradisi sufi merupakan bagian darinya.
Berbagai ilmu pengetahuan Islam mulai dari tafsir Al-Qur’an sampai filsafat dan teologi telah dihasilkan oleh Al-Ghazali sedangkan skema-skema kosmologi Islam utama yang sering menjadi rajukan sang pemimpin telah terumuskan pula. Tasawuf itu sendiri telah meninggalkan awalnya dari kesunyian nisbi dan kezuhudannya yang heroik menuju tahap pengungkapan cinta dan makrifat yang sangat mengesankan lingkaran rasa takut, cinta dan makrifat (makhafah, mahabbah, dan ma’rifah) yang terdapat dalam setiap agama dan dalam tradisi Ibrahimiah melalui kelahiran Yudaisme, kristen dan Islam secara berturut-turut, yang juga telah terwujud dalam tradisi sufi. Kaum bijak mesopotamia pada periode awal menekankan rasa takut dan hormat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di atas segalanya, yang menjadi sumber kebijaksanaan yang sesuai dengan sabda terkenal Nabi ; " Bahwa Ras Al- Hikmah makhafat Allah " ( sumber hikmah adalah rasa takut kepada Allah) dan juga merupakan sumber yang ke-Agungan dan Kemuliaan dalam diri manusia. Dalam keluarga Ibrahim, aspek yang dominan dari Yahudi (Yudaisme) adalah ; rasa takut kepada Tuhan. Dari Kristen adalah ; rasa cinta kepada Tuhan. Dan dari Islam ialah ; pengetahuan akan Allah (makrifatullah), meskipun dalam setiap tradisi yang integral ketiga aspek itu pasti ada. Sang pemimpim sejati, memainkan peran yang telah ditaqdirkan Tuhan dengan kemampuan menginterpretasikan ide-ide dan ajaran-ajaran para tokoh pemimpin terdahulu ke dalam sintesisnya sendiri, sehingga mudah di akses oleh generasi sesudahnya.
Untuk agar seseorang menjadi Pemimpin Sejati, dia harus menjalani masa latihan yang panjang, baik secara formal maupun inisiatik, dan harus memahami benar seluruh tradisi sebelumya, baik dalam tasawuf maupun dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam lainnya. Dia harus benar-benar mendalami pengetahuan tentang Al-Qur’an dan berbagai tafsirnya yang ada saat ini, karena dari penyelidikan yang mendalam atas karya dan tindak kreatif seorang Pemimpin Sejati akan mengungkapkan (terungkap) kebenaran pernyataannya dalam matsnawi sebagai tafsir Al-Qur’an, bahkan dalam diwan nya mengalir seperti arus sungai yang bermuara dari sumber air pegunungan rahasia Al-Qur’an, karena sang pemimpin sejati harus memperlihatkan kehandalannya dan kecakapannya dalam memimpin, dengan mengungkapkan sesuatu yang benar, sekaligus berani memunculkannya kepermukaan dengan penuh rasa tanggung jawab yang tinggi. Kebersihan dan kesucian hati yang suci murni serta harus memiliki rasa pri kemanusiaan yang dapat bertindak adil, arif dan bijaksana untuk sebagai sumber doktrin dan inspirasinya, dalam mensejahterakan dan memakmurkan Bangsa dan Negaranya. Dan bukannya memakmurkan kursi kebesaran yang didudukinya. Demi kursi kebesaran," manusia-manusia dewasa tak ubahnya bagaikan sekumpulan bocah-bocah yang sedang memperebutkan sebuah mainan", dan demi kursi kebesaran manusia telah dibutakan oleh angan - angannya dan seandainya saja manusia menyadari, bahwa ; " angan-angan manusia itu kerapkali melampaui ajalnya" dan demi kursi kebesaran, menusia tak segan - segan menghalalkan berbagai cara dari cara yang paling ringan (halus) sampai cara yang paling berat (kasar) yang pada akhirnya banyak memunculkan skenariowan - skenariowan kambuhan yang memanfaatkan situasi dan kondisi yang tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.
Bahaya kesombongan yang disebabkan oleh pembenaran di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama adalah merupakan awal kehancuran kharisma seorang pemimpin. Hal ini menunjukkan kenyataan bahwa akar jiwa tenggelam dalam dunia keserbaragaman mahkluk dan bahwa manusia selalu dibuyarkan dan dialihkan oleh berbagai benda untuk mampu memusatkan pikiran dan jiwanya kepada Sang Pencipta. Yang melengkapi kepekaan sang Pemimpin sejati terhadap kejujuran adalah ; kesadarannya akan kesucian dalam segala sesuatu dan kecakapannya memberi petunjuk sebagai solusi spiritual terhadap hampir setiap permasalahan yang dihadapi bawahannya dalam berbagai masa dan keadaan. Seperti halnya Rasulullah SAW yang telah diberi kemungkinan-kemungkinan oleh Allah SWT untuk mengalami segala sesuatu yang dapat dialami oleh seorang manusia, mulai dari kehilangan anak satu-satunya sampai mempersatukan Jazirah Arab dibawah panji Islam. Beliau (Rasulullah SAW) diberi misi tersebut supaya dapat menyucikan seluruh kehidupan manusia. Beliau (Rasulullah SAW) mampu mengekspresikan kesempurnaan dan keragaman eksistensi manusia sebagai cara untuk mengungkapkan fakta, bahwa dibalik setiap pengalaman mungkin saja terdapat sebuah gapura menuju yang Maha Gaib. Di dunia modern, kemiskinan dan kesesakan nafas spiritualitas tampak jelas, ketika keburukan telah menjadi norma dan keindahan menjadi suatu kemewahan. Sang Pemimpin sejati ditemukan banyak orang sebagai seorang penangkal penyakit yang berasal dari penderitaan dunia modern. Dia memang seorang penangkal yang sangat mujarab yang menyediakan prinsip-prinsipnya untuk diikuti, betapa pun pahitnya obat yang dia tawarkan.
Seseorang harus memandang Pemimpin sejati bukan sekadar sebagai seorang penguasa semata, namun sebagai porte - parole (penguak) rahasia - rahasia Ilahi, yang seperti burung yang hanya dapat bernyanyi dalam melodi-melodi yang menggerakkan jiwa. Kehadiran spiritual sang Pemimpin sejati berdiri tegak laksana rambu untuk menunjukkan kepada manusia melalui lisannya bahwa, hanya kebenaran itulah yang akan dapat membebaskan mereka dari penjara kerugian dan keburukan yang menyesatkan, yang telah mereka ciptakan disekitar diri mereka sendiri, dan yang batas-batasnya tidak dapat dirobohkan kecuali melalui pesan manusia seperti sang Pemimpin sejati. Karena ia dalam memandang kebenaran dan ekspresinya selalu dalam bentuk kemanusiaan yang adil dan beradab dan bukan hanya sebatas bentuk kemasannya saja, akan tetapi isi dalam kemasan itupun harus sama dengan luar (bungkusnya) serta terlepas dari trick - trick murahan. Ini semua dapat terjadi dalam dunia manusia yang memiliki kecenderungan untuk selalu membuat janji-janji muluk demi obsesi dan ambisinya yang tak kenal batasan itu. Maka pemimpin sejati itu adalah orang yang telah merasakan "amor est mors " melalui cintanya kepada Allah. Dan ia pun telah mendalami kematian walaupun secara fisik masih hidup dan di bangkit dalam selubung cahaya pengetahuan Tuhan selagi masih bercakap-cakap dan berjalan di antara manusia. Sang pemimpin sejati melihat kematian sebagai kebahagiaan hidup yang luar biasa karena dia telah mengalami kematian sebelum mati yang sesungguhnya sesuai dengan sabda Nabi yang terkenal ; " Matilah sebelum engkau mati". Baginya (pemimpin sejati) eksistensi kematian benar-benar merupakan bukti langsung akan adanya Tuhan. Bukti teologis juga mencakup bukti estetis. Menurut pengertian yang terluas dari istilah itu. Menurut aspek ini mungkin tidak sekuat aspek-aspek kosmologis dan moral. Karena untuk menjadi peka terhadap trasparansi metafisik dari kematian terhadap pemancaran aura fisik yang hidup dan tetap hidup dalam menuju dunia cahaya dengan suatu ketajaman dan pendengaran intusi yang memungkinkan pendakian melalui kebenaran fenomenal yang naik ke esensi - esensi dan melodi-melodi keabadian.
HIKMAH LISAN ( UCAPAN ) SANG PEMIMPIN SEJATI
Bagaimanapun juga ada mutiara hikmah yang sangat penting yang tersembunyi di dalam ucapan dan kata-kata yang keluar dari lisan (ucapan) seorang pemimpin sejati. Mutiara hikmah tersebut mencerminkan bukan hanya esoterisme semata, akan tetapi kekuatan sugesti dan penyadaran tentang pengetahuan intuitif yang ada di dalam jiwanya. Sebuah kesadaran yang dapat disamakan dengan transformasi jiwa bukankah ucapan dan kata-kata yang logis itu mempunyai kekuatan denotasi dan konotasi ..?!. Kata - kata yang terucap melalui lisan seorang pemimpin sejati akan selalu menyiratkan keselarasan universal melalui substansi bahasa yang ia miliki, sama seperti ketika keselarasan ini mendominasi pikiran dan jiwa sang pemimpin sejati itu sendiri. Maka kata-kata (ucapan) serupa dengan logika dalam arti sebagai sarana dan wahana untuk mengekspresikan suatu kebenaran. Kata - kata (ucapan) melengkapi logika untuk mencapai bentuk pengetahuan yang tidak dapat dipahami tanpa bantuan kecakapan logis manusia yang jujur dan pasrah. Selain itu kata - kata (ucapan) keluar dari lisan seorang pemimpin sejati akan menghasilkan transformasi jiwa serta perasaan-perasaannya dalam suatu cara yang tidak mungkin dihasilkan oleh usaha logis semata, karena ucapan yang jujur dan jauh daripada kebohongan itu akan menghasilkan dan melahirkan kesepakatan dalam jiwa manusia untuk membentuk manusia-manusia yang menjujung tinggi kejujuran, sehingga wajar untuk membicarakan adanya suatu logika lisan yang meyakinkan dan seringkali mendukung sebuah argumen diberbagai bagian dunia ketika ucapan seorang pemimpin sejati mampu memelihara kualitas kimiawinya, bahkan sampai sekarang pun, dan ketika jiwa orang - orang yang masih peka terhadap kekuatan lisan sang pemimpin sejati, yakni ; dengan caranya mengungkapkan kebenaran serta kemampuannya dalam hal memberi keputusan yang adil, arif dan bijaksana yang dilandasi cinta kasih dan kebajikan yang luhur. Pada akhirnya satu-satunya hal mendasar yang dimiliki logika dan juga lisan sebagaimana paham tradisional adalah gnosis (ma’rifah) yang terletak pada inti tradisi timur. Karena realitas merupakan sumber dari hal yang logis dan sekaligus hal yang puitis, maka gnosis atau metafisika tradisional yang mengandung pengetahuan tentang realitas, tidak boleh tidak harus menjadi dasar bersama yang memungkinkan logika dan lisan sang pemimpin sejati bertemu dan menjadi sarana bagi kebenaran untuk mengungkapkan dirinya dalam epifani - epifani yang logis seperti alam yang murni. Dalam melintasi tingkatan inisiatik yang paling tinggi, yang memungkinkan dirinya lebur dan muncul dalam subsistensi diri. Sehingga sang pemimpin sejati mampu menyadari siapa dirinya dan akhirnya akan mengenal dirinya, karena bukankah Nabi Muhammad SAW telah bersabda :
" Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhan-NYA".
Luasnya " samudera semangat " dan perjalanan anak cucu Adam dalam mengemban tugas amanah Tuhan semesta alam, adalah merupakan penyajian akan adanya suatu kebenaran yang obyektif dengan prosentasi subyektif serta aspek-aspek operatif yang menyangkut proses pencapaian kebenaran tersebut, yakni ; suatu kebenaran yang menggabungkan penguasaan metafisika murni ke dalam struktur jiwa manusia yang kompleks, perangkap yang menghadang manusia yang tersadarkan melalui inisiasi menuju kemungkinan spiritual dirinya dan memulai perjalanan menuju ke Yang Esa. Ekspresi universal kehidupan dan jalan inisiatik dimungkinkan oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) seseorang yang digabungkan dengan pengetahuannya yang mendalam tentang semua tradisi Islam, terutama aspek - aspek religius dan metafisiknya. Masyarakat dewasa ini mungkin lebih mampu untuk mendapatkan manfaat dari apa-apa yang mereka lisan-kan (ucapkan) baik secara perorangan atau secara kelompok daripada mereka yang hidup pada masa sebelumnya. Masa-masa sebelumnya ketika lisan-lisan manusia mengemukakan sesuatu yang benar (haqq) selalu disalahartikan, bahkan ada kecenderungan pengabaian aspirasi masyarakat, dan agak terkesan tidak dipedulikan. Seseorang yang mengatakan sesuatu yang benar dengan hati yang jujur. Pada masa itu, malah di anggap yang bukan-bukan sekaligus dicurigai dengan berbagai macam tuduhan - tuduhan yang terkesan ekstrim. Dan akhir dari hasil suatu ucapan tentang kebenaran itu adalah "bermeditasi dalam kurungan" Inilah ucapan tentang kebenaran yang berakhir dengan sangat tragis sekali. Orang-orang bijak masa lampau telah menyimpulkan tiga kriteria yang menjadi penyebab hancurnya suatu negeri dibelahan dunia manapun juga, yakni ;
- Jika sang penguasa negeri menganggap bahwa negeri yang dikuasainya itu adalah milik nenek moyangnya sendiri. Sehingga ia merasa berhak untuk melakukan apapun di negeri itu dengan tanpa merasa takut dan merasa malu. "Ia tidak sadar, bahwa bumi dimana ia berkuasa bukanlah miliknya atau milik nenek moyangnya, akan tetapi, milik Tuhan semesta Alam yang dititipkan kepada manusia untuk dijaga kelestariannya. Bumi diibaratkan sawah ladang tempat manusia bercocok tanam diatasnya, dan manusia akan memetik dari apa-apa yang ia tanam di bumi itu. Ingatlah akan suatu hal …!" :
" Bahwa manusia itu tidak akan pernah terlepas dari hukum sebab dan akibat, karena pada saatnya, kelak bumi akan menuntut haknya ".
- Jika hukum suatu negeri dikendalikan oleh sang penguasa negeri yang lalim, maka kebajikan akan lenyap di negeri itu
"Jika suatu kebajikan lenyap .. !" maka orang akan menonjolkan cinta kasih ".
"Jika cinta kasih lenyap …!" maka orang akan menonjolkan keadilan ".
"Jika keadilan lenyap ….! "maka orang akan menyusun peraturan dan undang-undang, maka hal-hal ini menjadi suatu tanda, bahwa kesetiaan dan kejujuran dari rakyat jelata sudah menipis, sehingga kekalutan mulai merajalela, karena moral semakin merosot ".
- Jika hak-hak azasi manusia diselewengkan dan disembunyikan serta diabaikan, maka keluhan dan jeritan tangis akan mewarnai negeri itu sehingga negeri akan menjadi kacau tak terkendali.
" Lihatlah kepada orang yang dibawah kamu, jangan selalu melihat kepada orang yang di atas kamu, yang demikian itu adalah lebih baik dan layak untuk tidak merendahkan nikmat Allah pada kamu ". (Al-Hadits).
Maka sang pemimpin sejati akan membuat peningkatan yang membuatnya menjadi mungkin untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam kesubstansi Ilahi. Ia akan senantiasa berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan nasib rakyat jelata, agar jangan sampai mereka menderita kesukaran dalam hal pangan, tempat tinggal dan dalam mencari nafkah. Ia pun tidak akan mempersulit rakyatnya dengan berbagai macam peraturan, atau undang-undang yang membatasi usaha serta pekerjaan mereka, agar supaya mereka senantiasa dapat tinggal dengan tenteram dan bekerja dengan senang dan leluasa, sehingga seluruh negeri akan berubah dengan sendirinya menjadi aman sejahtera. Oleh karenanya sang pemimpin sejati itu selalu memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Kebijaksanaan semacam inilah yang tidak dapat dicari di puncak-puncak gunung atau di dasar laut yang dalam atau di tengah-tengah hutan belantara, atau di negara - negara lain, akan tetapi, kebijaksanaan ini haruslah dicari di dalam dirinya sendiri, melalui penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin sepenuhnya, maka amal perbuatan yang dilakukan olehnya akan menjadi amal suci dan mensucikan.
" Langit dalam revolusi ibarat pengemis yang mengusik kesadaran kita"
Kehadiran seseorang pemimpin sejati di tengah-tengah kegersangan dan kehausan jiwa adalah merupakan karunia Tuhan dan tanda-tanda dari Maha Kasih-NYA yang tetap dapat diperoleh manusia kapanpun dan dimanapun asal mereka mau membuka dirinya sendiri untuk menghidupkan kembali cahaya semangatnya dan menyesuaikan diri dengan alam serta hukum - hukum Tuhan yang kekal abadi. Seseorang hanya perlu mempelajari dunia Islam dalam berbagai fase sejarahnya atau pada masa kini untuk menyadari kehadiran Sang pemimpin sejati dalam berbagai aspek tradisi yang sangat fundamental itu. Ia adalah keajaiban di atas keajaiban, dan merupakan sosok manusia sejati yang selalu mengikuti dimana arus air mengalir. Maka sesungguhnya kursi kebesaran bagi sang pemimpin sejati itu, terletak di dalam lubuk hatinya yang telah terpahat oleh kejujuran dan keikhlasan yang tanpa pamrih itu. Jika saja dari keikhlasan sang pemimpin sejati itu menyentuh jiwa para pertapa dunia, maka jiwa mereka akan meninggalkan tubuh diluar kehendaknya.
" Bukankah suatu perbuatan itu dapat dikatakan baik dan benar, jika tidak ada pamrih didalamnya..?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar